Pause Button
Saat ini anak-anak sudah tidur. Suami juga sedang keluar dalam beberapa jam ke depan. Ini waktunya saya sendiri menikmati waktu yang ada, me time katanya. Saya coba ambil brush pen untuk menulis tapi tidak mood. Akhirnya saya coba buka laptop dan menulis yang bisa saya tulis.
Mungkin ini waktunya saya berpikir ke belakang, apa yang sudah saya lakukan. Saya tahu, bahwa sekarang sampai beberapa tahun ke belakang adalah tahun-tahun terberat yang pernah saya lalui. Bahwa apa yang saya lalui ini hampir tidak perah terpikirkan sebelumnya akan seberat ini.
Sampai setiap hari hampir meminta tolong seperti berada dalam dua pilihan: menjadi baik, atau buruk. Melakukan sesuatu padahal dalam kepala tidak boleh. Ini masa-masa terberat saya. Yang saya tidak tahu kapan selesainya.
Saya punya dua anak yang jadi tanggung jawab. Tapi di satu sisi saya tidak yakin bahwa saya bisa memegang penuh tanggung jawab itu. Terlalu berat. Bahkan terasa tidak adil bagi saya memegang sendiri. Saya bahkan sering berfikir apakah seorang ibu akan selalu seperti ini, dibayang-bayangi tanggung jawab akan anak-anaknya, terasa seperti beban.
Bahwa seorang ayah sepertinya tidak mungkin punya tanggung jawab langsung sebesar ini --walaupun nyatanya memang ia punya tanggung jawab lebih besar terhadap keluarganya--. Bahwa apa yang dilakukan seorang anak tidak langsung berpengaruh pada seorang ayah, tapi ibunya, terutama segala kejadian buruk yang ada. Dan tak akan terasa jika sesuatu yang baik akan terbawa pada ibunya.
Saya yang sering berpikir bahwa pekerjaan ibu di rumah adalah hina. Segala kegiatan rumah dilakukan semata menjadikan nyaman orang yang ada di dalamnya. Meskipun ibu saya adalah seorang ibu di rumah, saya tak merasakan hina dalam dirinya. Mungkin saya yang merasa hina pada diri saya sendiri. Bahwa saya kehilangan sedikit demi sedikit kepercayaan diri, rasa berharga dalam diri, identitas diri saya yang lama hilang, entah kemana.
Saya punya mimpi jauh di belakang. Sudah bertahun-tahun saya kempit sendirian sampai perlahan serpihannya hilang, berganti menjadi tanggung jawab yang sepenuhnya tidak saya inginkan. Bukan saya tidak menginginkan kebahagiaan lain dari anak-anak, tapi terasa kebahagiaan lama saya hilang entah kemana. Sampai tak ada semangat lagi meraih mimpi saya yang lama. Masih ingin sih, tapi kapan ya bisa tercapai. Apakah masih bisa? Ataukah harus ikhlas saja begitu?
Masih kesal atau sedih tak ada harapan? Coba tulis lagi ya. Siapa tahu jadi berkurang dan bergani jadi lebih baik.
Jangan berlarut-larut. Berlebihan itu tidak baik.
0 komentar